Pages

Jumat, 12 Desember 2014

METAMORFOSIS K-13 ?

          Menarik untuk menyimak pemberitaan yang dimuat di beberapa media masa, baik elektronik maupun cetak dengan isu sentral pemberlakuan Kurikulum 2013 (K-13). Mendikdasmen, Anies Baswedan secara tegas menyampaikan bahwa pemberlakuan K-13 sangat rentan terhadap ke-tidaksiap-an baik guru maupun buku ajar. Bahkan terkesan dipaksakan tanpa persiapan yang matang. Belum lagi kebingungan dan kesulitan yang dialami oleh banyak guru tentang penilaian, khususnya aplikasi menyajikan dalam laporan hasil peserta didik (raport). Apalagi di Indonesia masih banyak rombongan belajar (kelas) dengan jumlah peserta didik lebih dari 32 anak. Jika seorang guru mengajar 9 kelas saja maka ada sekitar 288 peserta didik yang harus ia cermati proses perkembangan maupun penilaian peserta didiknya. Padahal ada beberapa guru yang mengajar 12 kelas. Ini tentu bukan pekerjaan yang mudah.
          Akan tetapi, beberapa tokoh, misalnya Wapres Jusuf Kalla memberikan statemen bahwa K-13 jalan terus dan tidak mungkin untuk diberhentikan begitu saja. Demikian pula mantan mendiknas M. Nuh mengisyaratkan bahwa terlalu dini untuk memberhentikan pemberlakuan K-13, sebelum mengevaluasi secara mendalam pelaksanaannya selama ini, diperlukan waktu dan tidak harus terburu-buru. Bahkan pihak Dikbub Jawa Timur secara khusus meminta pemberlakuan K-13 untuk semua sekolah di Jatim, walaupun hal itu tidak dikabulkan oleh mendikdasmen melalaui Dirjen Pendidikan Dasar Kemendikbud Hamid Muhammad (Jawa Pos, 12 Desember 2014), karena pemberlakuan K-13 terbatas pada 6.221 unit sekolah yang telah ditunjuk. Tentu hal ini membingungkan bagi sekolah-sekolah karena meras tidak ada kepastian.
          Bagi kita, para pendidik dan praktisi pendidikan, pergantian kurikulum itu hal yang wajar dan suatu keniscayaan. Akan tetapi, ketika pemberlakuan itu belum berjalan lama bahkan ada yang belum tuntas satu semester dilaksanakan, tentu belum sepenuhnya menemukan 'pola' dan 'fakta' empiris terhadap efektifitas dan keunggulan dari kurikulum yang dimaksud. Konsekuensi lainnya sebagaimana dilansir oleh dikdik Bojonegoro (Jawa Pos 12 Desember 2014) antara lain: jam mengajar berkurang, efek sertifikasi dan tunjangan guru terkendala, tenaga honorer kehilangan jam mengajar, peserta didik kesulitan karena pada K-13 semester awal sudah penjurusan minat. Semua itu menjadi efek domino pemberhentian K-13.
          Lepas dari pro dan kontra, pemerintah sudah secara final mengambil kebijakan pemberlakuan K-13 terbatas pada sekolah-sekolah percontohan (seluruh Indonesia ada 6.221 sekolah), sedangan sekolah-sekolah yang lain kembali ke KTSP. Oleh karena itu, dimungkinkan ada dua kurikulum yang berlaku yaitu K-13 dan KTSP. Ini berkonsekuensi pada penilaian (raport, UN). Suatu saat akan ada dua jenis UN yang berdasarkan KTSP dan K-13. Memang semua bisa diatasi, namun kesan yang muncul adalah ketidakpastian menerapkan standar penilaian pada peserta didik. Mana standar (barometer) yang paling diakui. Hal itu tidak akan menjadi masalah jika UN dihapus atau ditiadakan. Sungguh suatu dilema yang berkepanjangan.
          Menurut hemat kami, apapun istilah kurikulum yang dibelakukan yang penting adalah adanya kemauan dan niat yang sungguh-sungguh dari semua komponen pendidikan untuk menjadikan peserta didik berkembang potensi yang dimilikinya. Berkembang secara utuh pisik, mental, akhlak, budi pekerti dan daya nalar dan daya cipta sehingga siap menjadi penerus bangsa yang handal dan mumpuni dan memiliki daya saing yang tinggi. Semoga saja, amin.
 

web widgets
Apa pendapat anda tentang blog saya?
Sangat Bagus dan Mendidik0%
Sangat Bagus0%
Mendidik0%
Bagus0%
Buruk0%
Tidak Mendidik0%
Sangat Buruk0%
Sangat Buruk dan Tidak Mendidik0%