Para ulama
selalu mewanti-wanti agar kita selalu ikhlas dalam beramal termasuk dalam
belajar. Ilmu semakin mudah diraih jika disertai dengan ikhlas. Ilmu semakin
jauh dari kita jika yang diharapkan adalah pujian manusia dan ridho selain
Allah.
Sesungguhnya
ikhlas dalam beramal adalah syarat diterimanya amal dan cara mudah mencapai
tujuan. Allah Ta’ala berfirman,
وَمَا أُمِرُوا
إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا
الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ
“Padahal
mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan
kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan
shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.”
(QS. Al Bayyinah: 5).
Dari ‘Umar bin
Al Khottob, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الأَعْمَالُ
بِالنِّيَّةِ ، وَلِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
“Setiap
amalan tergantung pada niatnya dan setiap orang akan mendapatkan yang ia
niatkan.” (HR. Bukhari no. 54 dan Muslim no. 1907).
Abu Bakr
Al Marudzi berkata, “Aku pernah mendengar seseorang bertanya pada Abu
‘Abdillah -yaitu Imam Ahmad bin Hambal- mengenai jujur dan ikhlas. Beliau pun
menjawab,
بهذا ارتفع
القوم
“Dengan ikhlas
semakin mulia (tinggi) suatu kaum).”
Guru kami,
Syaikh Sholih bin ‘Abdullah bin Hamd Al ‘Ushoimi -semoga Allah senantiasa
menjaga dan memberkahi umur beliau- berkata bahwa ikhlas dalam belajar
agama (ilmu diin) jika diniatkan:
1- Untuk
menghilangkan kebodohan dari diri sendiri.
2- Untuk
menghilangkan kebodohan dari orang lain.
3- Menghidupkan
dan menjaga ilmu.
4- Mengamalkan
ilmu yang telah dipelajari.
Contoh dari
ulama masa silam (ulama salaf), mereka selalu khawatir luput dari sifat ikhlas
ketika belajar. Mereka sudah berusaha mewujudkan ikhlas tersebut dalam hati
mereka. Namun untuk mengklaim, telah ikhlas, itu amatlah sulit. Sehingga dalam
rangka wara’ (kehati-hatian), mereka tidak menyebut diri mereka ikhlas.
Hisyam Ad
Dastawa-iy rahimahullah berkata,
والله ما أستطيع
أن أقول: إني ذهبت يوما أطلب الحديث أريد به وجه الله
“Sungguh aku
tidak mampu berkata: aku telah pergi mencari hadits pada satu hari untuk
mencari wajah Allah.”
Imam Ahmad
ditanya, “Apakah engkau telah menuntut ilmu karena Allah?” Jawab beliau,
لله! عزيز,
ولكنه شيء حبب إلي فطلبته
“Karena Allah!
Itu perkara besar (agung), namun aku berkeinginan kuat untuk terus meraihnya.”
Oleh karenanya,
siapa yang luput dari ikhlas, maka ia telah luput dari ilmu dan kebaikan yang
banyak. Sehingga ikhlas inilah yang mesti diperhatikan dalam setiap perkara
yang nampak ataupun yang samar, yang tersembunyi atau yang terlihat.
Karena itu,
kita harus terus berusaha memperbaiki niat. Sufyan Ats Tsauriy berkata,
ما عالجت شيئا
أشد علي من نيتي لأنها تتقلب عليَّ
“Aku tidaklah
pernah mengobati sesuatu yang lebih berat daripada memperbaiki niatku. Karena
niatku dapat terus berbolak-balik.”
Sulaiman Al
Hasyimiy berkata, “Terkadang ketika aku mengucapkan satu hadits saja, aku
membutuhkan niat. Setelah aku beralih pada hadits yang lain, berubah lagi
niatku. Jadi, memang betul menyampaikan satu hadits saja butuh niat ikhlas
karena Allah.”
Semoga Allah
beri kita hidayah untuk terus ikhlas dalam belajar dan beramal. Hanya Allah
yang memberi taufik dan hidayah.
Referensi:
Ta’zhimul ‘Ilmi pada point
kedua, karya -guru kami- Syaikh Sholih bin ‘Abdullah bin Hamd Al ‘Ushoimiy
al umuuru bimaqaashidihaa.. juga mr. segala sesuatu tergantung pd niat.
BalasHapusna'am, jazakallah ....
Hapus